Jumat, 13 Januari 2012

SEJARAH TAMAN SOEKASADA UJUNG


Rentang Sejarah Taman Soekasada.

Sebelum tahun 1908 Karangasem merupakan Wilayah Kerajaan. Raja yang memerintah sampai tahun 1908 adalah Ida Anak Agung Gede Jelantik yang membawahi 21 Punggawa. Setelah Belanda menguasai Kerajaan Karangasem, mulai terhitung tanggal 1 Januari 1909, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tertanggal 28 Desember 1908, Kerajaan Karangasem dihapuskan dan diubah menjadi Gouvernement Lanscap Karangasem dibawah Pimpinan Raja I Gusti Gede Jelantik, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tertanggal 4 September 1928, gelar Stedeheuder diganti dengan Gelar Ida Anak Agung Anglurah Karangasem, yang kemudian diangkat menjadi Zelfbesteur dan dikenal dengan nama Swapraja. Dan juga berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958, terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah Swapraja diubah menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem.


Invasi Belanda pada tahun 1908 beberapa Raja memperoleh status sebagai Bupati yang berada dibawah Pemerintahan Kolonial Belanda. Raja Karangasem juga mendapat kekuasaaan untuk mengatur Daerah dan Kekayaannya. I Gusti Bagus Jelantik kemudian bergelar Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem adalah raja terakhir yang memerintah bali Timur dari tahun 1909 sampai tahun 1945. Beliau dikenal sebagai Raja yang memiliki Nilai Budaya Tinggi.

Pengembangan Taman Ujung ini juga disebut sebagai " ISTANA AIR " ini dimulai tahun 1919 dan rampung tahun 1925, namun pembukaannya pada tahun 1921. Sebelum Taman Soekasada dibangun sudah terlebih dahulu dibangun di Pesanggrahan di Manikan yang lebih lazim sekarang disebut Pura Manikan. Nama ini memengandung indikasi bahwa ada Wilayah Ujung yang dianggap Sangat Mulia, Indah dan Potensial. Pura Manikan didirikan oleh Raja yang bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti.



Dengan berbekal Pengetahuan Arsitektur Tradisional yang dipadukan dengan Arsitektur Belanda / Eropah dan Cina dibuat Perencanaan. Sedang untuk arsitektur Tradisinal Bali yang didapat dari Para Undagi, Raja I Gusti Bagus Djelantik membuat Perencanaan dari Taman Soekasada Ujung dan sekalian memimpin Pembangunannya. Jadi Pembangunan Taman Ujung tidak telepas ada hubungan dengan Arsitektur Puri Karangasem dan Arsitektur Taman Tirtagangga.

Pembangunan Taman Ujung selesai pada tahun 1921, namun pekerjaan pembangunan masih terus dilanjutkan. Tepatnya pada tahun 1937, Taman Sukasada (Taman Ujung) Karangasem diresmikan dengan sebuah ‘mahligya’ yang ditandai dengan sebuah prasasti batu marmer yang ditulis dengan huruf latin dan Bali dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bali. Prasasti tersebut ditempelkan pada salah satu dinding di Bale Warak.

Masa Keemasan Taman Soekasada, sebagian dari masa keemasan itu tersirat dalam dua prasasti dari marmer yang dipasang pada Bangunan Warak. Prasasti sebelah Kiri dengan Aksara Latin dengan Ejaan lama memakai huruf Kapital, terdiri atas 8 baris dengan tulisan sbb:

Marmer sebelah kiri yang bertulis huruf latin berjumlah 8 baris berbunyi:

PERINGATAN.

WAKTOE KARYA

DEWA JADNYA DAN

MALIGIA

DI POERI AGOENG.

KAWAN KARANGASEM.

TANGGAL

6 AGUSTUS 1937.


Sedangkan marmer sebelah kanan dengan aksara dan bahasa bali terdiri dari delapan baris berbunyi

Pekeling daweg rahina karya Dewa Yajna
Miwah malighya ring Puri Agung Kawan Karanasem
Duk rahina, su, pa, wara Perangbakat , pang, ping
14, Sasih 2, Isaka 1859 maka Ling -
ga ring malighya, padhandha Gdhe Ketut Pidhadha hi -
da Anake Hagung Anglurah Ketut karangasem
Raja Lombok, miwah Ida Anake Agung
Gdhe Jelantik Jumneng , Agung ring Karangasem .


Dari Upacara Melighya yang dilaksanakan di Taman Ujung memberi inspirasi kepada Sastrawan Karangasem yang kemudian menghasilkan beberapa Geguritan Lighya 1937, dengan memakai beberapa Tembang, antara lain Sinom, Durma an Ginanti. Dalam Geguritan inilah Taman Ujung disebut disebut dengan nama "Taman Soekasada" yang berarti Taman yang memberikan kesenangan Lebih.

Kedua prasasti tersebut menunjukkan bahwa pembangunan selesai pada tanggal 6 Agustus 1937.



SANG Arsitek Otodidak Pendiri Taman Ujung Soekasada , salah seorang raja Karangasem, dengan kemampuan teknis-arsitektural dan estetik, telah berhasil memanfaatkan bentang alam dan lingkungan di sekitarnya yang berteras-teras, dengan gunung-gunung sebagai latar belakang alami, sumber air, sungai-sungai dan pesisir Pantai Ujung. Dalam pembangunan taman ini, sang raja kemungkinan basar telah menggunakan konsepsi kosmologi masyarakat Bali sebagai landasan ideologis. Secara kosmologis, pesisir pantai atau laut adalah bagian hilir atau muara (tebenan), adalah tempat menunggalnya segala kekuatan magis yang berasal dari gunung atau bukit, yang kemudian mengalir ke hilir melalui sungai-sungai, seakan-akan secara simbolis membagi-bagikan air kehidupan kepada masyarakat.


Selain itu, gunung adalah bagian hulu (luwanan) yang punya kekuatan adikodrati yang tak tertandingi. Sebaliknya, gunung juga tak selamanya merupakan kekuatan alam yang ramah, karena dapat menimbulkan bencana besar secara tiba-tiba, jika ekosistemnya terganggu. Menurut kosmologi masyarakat Bali dan juga masyarakat lainnya di nusantara, gunung adalah dunia arwah para leluhur yang punya kekuatan magis, yang dapat memberikan pengaruh baik-buruk kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pengaruh agama Hindu telah meluas di daerah Bali, gunung juga dianggap sebagai tempat bertahtanya para Dewa, yaitu Dewa Gunung seperti Bhatara Gunung Agung, dll.

Demikianlah gunung menjadi suci dan sakral. Dengan berpedoman kepada konsepsi kosmologi itu, pendiri Taman Ujung telah berupaya untuk menyatukan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang terkonsentrasi di gunung -- kekuatan alam adikodrati, magis arwah leluhur, dan para Dewa -- untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Dengan dasar ideologi ini, maka Taman Ujung dapat juga disebut sebagai ''Water Palace'' yang menyandang makna simbolis-magis-religius seperti yang tampak juga pada lambang kerajaan, yaitu Amerta Jiwa. Dari sisi lain, taman ini menjadi lebih signifikan lagi karena berada dalam bingkai segitiga sosiokultural -- Tirta Gangga, Puri Karangasem, dan Taman Ujung.

Tidak mengherankan apabila dalam Perwujudan dari Pemilihan Lokasi, Penataan Lay Out, Penerapan dalam Arsitektur Bangunan dan Penggunaan Ornamen di Taman Ujung dijiwai oleh makna simbolisasi dan Nilai-Nilai Ritual Spiritual seorang Raja yang dilandasi oleh Agama Hindhu. Dan hal yang mendukung saat itu juga muncul hasil karya berupa Geguritan, Sinom dan Tembang-lagu yang mengambil sosok dari keagungan Arsitektur Taman Ujung.

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar